HIDAYAT M. HASAN K. SYAM |
HUKUM PERIKATAN ISLAM
I. Konsep dan Perikatan Dalam Hukum Barat
A. Konsep Perikatan
Dilihat dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari
undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber
lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Bagian hukum yang mengatur
berbagai perikatan yang lahir dari bermacam-macam sumber dinamakan hukum
perikatan (het verbintenissenrecht). Sedangkan hukum perjanjian (het overeenkomstenrecht)
adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang
mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau
memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan
diri kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang
mereka perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan
kewajiban diantara keduanya. “Perikatan didefinisikan sebagai
hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan
mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan,
melakukan atau tidak melakukan sesuatu.”
B Sumber-Sumber Perikatan
Sumber-sumber yang melahirkan perikatan meliputi:
- perjanjian
- undang-undang saja, perikatan yang lahir dari undang-undang saja adalah perikatan yang kewajiban di dalamnya langsung diperintahkan oleh undang-undang seperti hak dan kewajiban yang timbul antara ayah dan anak dalam hal nafkah, dsb.
- undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan orang, yang dibedakan menjadi :
- perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad)
- perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
II. Istilah dan Konsep Perikatan dalam Hukum Islam
Ada dua istilah yang terdapat dalam Islam berkaitan dengan perikatan.
- Iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis).
Iltizam merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan secara umum. Semula iltizam
digunakan untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak
saja, hanya kadang-kadang saja dipakai untuk perikatan yang timbul dari
perjanjian. Sekarang ini iltizam digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan. Pengertian iltizam dalam hukum Islam adalah terisinya dzimmah
(tanggungan) seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib
ditunaikannya kepada orang atau pihak lain. Menurut Mustafa Az Zarqa
mendefinisikan perikatan (iltizam) sebagai keadaan dimana
sesorang diwajibkan menurut hukkum syara’ untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain.
- Akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan kontrak (contract) yang merupakan istilah yang telah lama digunakan.
- orientasi yang bercirikan objektivisme, yaitu perikatan lebih dilihat dari sisi objeknya yang berupa hak dan kewajiban yang timbul dalam perikatan. Dalam hukum objektivisme penggantian subjek atau pemindahan hak-hak perikatan dari satu subjek ke lainnya dapat dilakukan dengan mudah, karena yang menjadi fokus adalah objeknya.
- orientasi yang bercirikan subjektivisme, yaitu perikatan lebih banyak dilihat pada segi hubungan antar subjek perikatan yaitu debitur dan kreditur dari segi objek perikatan itu sendiri. Konsekuensinya adalah jika terjadi perikatan antara dua pihak atau lebih, maka tidak dapat dilakukan penggantian dengan pihak lain.
III. Macam-Macam Perikatan dalam Hukum Islam
Dilihat dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam perikatan:
- Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain)
Kunci untuk memahami memahami konsep utang dalam hukum Islam adalah
bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang terletak dalam dzimmah
(tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain) dalam
hukum Islam adalah sebagai berikut: yang pertama adalah akad, yang
kedua adalah kehendak sepihak seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya
adalah sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga adalah perbuatan
melawan hukum yaitu semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang
timbul dari selain akad, seperti pencurian, perusakan yang objeknya
adalah barang. Sumber yang keempat adalah pembayaran tanpa sebab, yang
kelima adalah syara’ yaitu ketentuan syariah yang menetapkan
kewajiban-kewajiban untuk melakukan pembayaran tertentu pada seseorang.
- Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain)
Perikatan benda merupakan suatu hubungan hukum yang objeknya adalah
benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik bendanya, manfaatnya atau
untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber-sumber
perikatan benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling penting dari
perikatan benda, seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber lainnya
adalah kehendak sepihak seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum juga
dapat dijadikan sumber perikatan benda, seperti kasus gasab.
- Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal)
Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah. Istisna’
adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan
oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad
atas beban yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua
yaitu ijarah al manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal (perjanjian kerja).
- Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq)
Perikatan menjamin merupakan suatu bentuk perikatan yang objeknya
adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga
mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak
pertama.
Perikatan yang ditanggung ada tiga macam, yaitu perikatan utang, perikatan benda dan perikatan orang yang ditanggung dalam akad al kafalah bi an nafs.
IV. Sumber-Sumber Perikatan dalam Hukum Islam
Menurut para ahli hukum Islam modern, sumber-sumber perikatan dalam Islam (masadir al iltizam) ada lima macam :
- akad (al ‘aqad), akad dalam hukum Islam merupakan sumber penting bagi perikatan.
- Kehendak sepihak (al iradah al munfaridah)
- Perbuatan merugikan (al fi’l adh dharr)
- Perbuatan bermanfaat (al fi’l an nafi’)
- Syara’
V. Dzimmah dalam Hukum Perikatan Islam
Para ahli hukum Islam menyatakan bahwa dzimmah adalah suatu wadah yang diandaikan adanya oleh hukum syariah pada orang (person) dan yang menampung hak-hak serta kewajiban-kewajiban.
Dzimmah pada orang mewujud selama ia hidup dan berakhir dengan kematiannya. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang berakhirnya dzimmah dengan kematian seseorang, apakah dzimmah-nya
harus dihapus sama sekali ketika ia meninggal dunia ataukah dzimmah itu
masih bertahan beberapa waktu setelah meninggalnya. Ahli-ahli hukum
Hanafi berpendapat bahwa dzimmah karena kematian seseorang
tidak musnah sama sekali tetapi tidak pula bertahan utuh, melainkan
melemah atau rusak. Ahli hukum Maliki berpendapat bahwa dzimmah musnah dengan kematian seseorang. Ahli hukum Syafi’i berpendapat bahwa dzimmah
tetap berlangsung utuh setelah meninggalnya seseorang sampai
utang-utangnya dibayar. Sedangkan menurut madzab Hambali, sebagian ahli
hukumnya sejalan dengan ahli hukum Maliki dan sebagian lagi sependapat
dengan fukaha Syfi’iyah.
VI. ‘Ain dan Dain dalam Hukum Perikatan Islam
‘Ain adalah suatu hak kebendaan yang terkait langsung dengan benda tertentu, bukan benda lain. Dalam hukum Islam, ‘ain
disamping mencakup hak kebendaan dala pengertian hukum barat meliputi
pula hak-hak yang timbul dari perikatan yang objekya benda tertentu.
Sedangkan dain adalah hak-hak yang tdak dikaitkan langsung
kepada benda atau sesuatu tertentu, melainkan kepada sejumlah uang atau
benda yang berada dalam tanggung jawab pihak debitur.
Contoh: apabila seseorang mempunyai koleksi sejumlah mata uang asing
atau kuno, dan untuk keamanan ia menyerahkan ke sebuah bank dengan
maksud untuk disimpan dalam safety box sebagai barang titipan
yang pada suatu waktu akan diambil kembali fisik uangnya, maka perikatan
orang tersebut dengan bank dan hak pemilik uang atas uangnya tersebut
yang wajb dikembalikan fisiknya oleh bank adalah ‘ain. Akan
tetapi jika ia menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito misal selama
satu bulan, maka haknya atas uang tersebut pada waktu jatuh tempo
adalah dain.
Dari contoh diatas, maka dapat dtarik kesimpulan bahwa keterkaitannya dengan dzimmah, dapat ditegaskan bahwa dain adalah suatu yang hak yang objeknya sejumlah uang atau benda dan terkait dengan dzimmah debitur. Sedangkan ‘ain adaah hak yang objeknya adalah benda yang sudah ditentukan, bukan benda lainnya serta tidak terkait kepada dzimmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar