![]() |
Hidayat M. Hasan K. Syam |
Birrul Walidain Lebih Baik
Daripada Jihad Fisabilillah
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang amalan apakah yang paling disukai oleh Allah SWT, Beliau menjawab: “Sholat pada waktunya.” Kemudian apa lagi yaa Rasulullah?, Beliau menjawab: “Birrul walidain.” Kemudian apalagi yaa Rasulullah?, Beliau menjawab: “Jihad fisabilillah.”
Kalau kita mau memperhatikan hadits ini dengan cermat, maka kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa amalan yang paling disukai oleh Allah
yang pertama adalah sholat pada waktunya, kemudian berbuat baik kepada
kedua orangtua, baru kemudian yang terakhir adalah jihad fisabilillah.
Oleh karena Birrul Walidain itu lebih baik daripada Jihad
fisabilillah, sudah barang tentu pahalanya juga lebih baik. Untuk itu,
di bawah ini, saya sajikan dua buah hikayat. Hikayat yang pertama
berkisah tentang pahala Jihad fisabilillah dan hikayat yang kedua
berkisah tentang pahala Birrul Walidain. Dengan menyajikan dua hikayat
ini, diharapkan para pengunjung Blog saya ini bisa memperolah gambaran
yang jelas tentang keduanya.
Hikayat 1 tentang pahala Jihad fisabilillah:
Al
Yafi’i pernah bercerita dari Syech Abdul Wahid bin Zaid. Pada suatu
hari kami duduk di majlis kami sebagaimana biasanya, kami telah bersiap
untuk pergi berperang. Sungguh aku telah memberikan perintah kepada
sahabat-sahabat untuk mendengarkan suatu ayat yang akan dibacakan di
muka mereka. Ada seorang lelaki yang membacakan ayat di majlis kami.
“Sesungguhnya Allah telah membeli orang-orang mu’min diri dan harta
benda mereka, sebab sesungguhnya mereka akan memeroleh surga.”
Lantas
ada seorang anak yang masih berusia limabelas tahun atau sederajatnya
berdiri, padahal ayahnya sudah meninggal dunia, namun ditinggali harta
benda yang banyak, lalu berkata: “Wahai Abdul Wahid bin Zaid,
sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta benda orang-orang
mu’min, sebab sesungguhnya mereka akan memeroleh surga?” Aku berkata:
“Ya wahai anakku yang tercinta.” Dia berkata kepadaku: “Aku telah
menyaksikan kepadamu bahwa aku telah menjual diriku dan harta bendaku
kepada Allah agar aku memeroleh surga.” Aku (Abdul Wahid) berkata:
“Sesungguhnya tikaman pedang yang tajam lebih berat daripada itu, sedang
kulihat kamu masih kecil. Sesungguhnya aku khawatir bila kamu nanti
tidak sabar dan kamu tidak mampu menghadapi resiko peperangan.” Dia
berkata: “ Wahai Abdul Wahid, aku sudah baiat kepada Allah agar aku
mendapatkan surgaNya lantas aku tidak mampu? Aku menyaksikan kepada
Allah baiatku ini.”
Abdul
Wahid berkata: “Sesungguhnya kami merasa terkalahkan dengan keimanan
yang dimiliki oleh anak semacam ini, lantas kami berkata di dalam hati:
“Seorang anak berakal sedang kami masih kurang berakal.” Anak tersebut
keluar dengan membawa seluruh harta bendanya untuk disumbangkan dalam
perjuangan kecuali kuda, senjata dan bekalnya belaka.
Ketika
hari yang dijanjikan untuk berangkat perang telah tiba, maka anak itu
permulaan orang yang tampak pada kami, lalu berkata: “Assalamu alaikum
wahai Abdul Wahid,” lalu aku menjawab salamnya dan kukatakan: “Sungguh
akad jual belimu telah beruntung banyak.” Kemudian kami berjalan menuju
medan tempur, sungguhpun demikian ternyata anak itu berpuasa di waktu
siang dan malampun melakukan shalat. Dengan hati yang gembira dia
melayani kami, memelihara binatang kami dan menjaga kami bila kami
tertidur. Lantas sampailah perjalanan kami ke tanah Romawi.
Ketika
kami sudah sampai di tanah Romawi, lantas pemuda itu menghadap kepada
kami seraya berkata: “Sungguh rinduku telah lama mencekam kepada Al Aina
Al Mardhiyah.” Lantas beberapa temanku berkata: “Barangkali pemuda itu
tergoda oleh setan atau kemasukan jin atau mungkin akalnya sudah tidak
sadar lagi.” Aku berkata: “Wahai anakku yang tercinta, apakah maksud Al
Aina Al Mardhiyah itu?” Dia menjawab: Sesungguhnya aku pernah tidak
sadar, lantas aku melihat seolah-olah ada orang datang kepadaku, lalu
berkata kepadaku: “Pergilah kamu untuk menjumpai Al Aina Al Mardhiyah,
lantas aku diajak berkunjung ke pertamanan yang terdapat sungai yang
airnya tidak berubah. Kulihat di tepi sungai itu ada beberapa perempuan
yang mengenakan pakaian dan perhiasan yang menarik, sungguh aku sulit
melukiskan kecantikan dan daya tarik perhiasan dan pakaiannya.
Ketika
mereka melihat aku, langsung mereka berkata: “Ini suami Al Aina Al
Mardhiyah, lalu aku berkata: “assalamu alaikum, apakah ada di kalangan
kamu Al Ana Al Mardhiyah?” Lalu mereka menjawab: “Kami hanya sebagai
pelayannya, oleh karena itu berjalanlah terus kesana.”
Akupun
berjalan menelusuri lorong-lorong di mukaku, lalu aku berjumpa dengan
sungai dari susu yang putih bersih, rasanya pun tidak berubah. Di sana
terdapat pertamanan yang penuh dengan dekorasi yang memikat hati dan
beberapa wanita yang cantik. Ketika aku melihat mereka, akupun tertarik
lantaran kecantikannya sulit kulukiskan. Ketika mereka melihat kepadaku,
langsung mereka menyambutku dengan hati yang gembira, mereka berkata: “
Inilah suami Al Aina Al Mardhiyah.” Aku mengucapkan salam kepada mereka
dan bertanya: Apakah diantara kamu ada Al Aina Al
Mardhiyah?” Mereka menjawab salamku, dan memanggilku dengan kata wahai
waliyullah, kami hanya sebagai pembantunya, oleh karena itu berjalanlah
terus ke depan. Lantas akupun berjalan ke depan, tahu-tahu aku berjumpa
dengan sungai dari khomer dan di tepinya ada beberapa wanita yang
menarik.
Dengan daya pikat masing-masing wanita
itu, akupun lupa terhadap wanita yang sebelumnya. Akupun mengucapkan
salam untk mereka, aku bertanya:
“Apakah di kalangan anda ini ada Al
Aina Al Mardhiyah?” Merakapun menjawab: “Tidak, kami hanya sebagai
pembantunya. Oleh karena itu berjalanlah terus.” Lalu
akupun bertemu dengan sungai dari madu yang jernih, di tepinya terdapat
gadis yang cantik jelita membuat aku lupa terhadap gadis sebelumnya,
rupanya cahaya dan kemolekan mereka yang lebih memikat hatiku. Lalu
akupun mengucapkan salam kepada mereka, aku bertanya: “Apakah di antara
kalian ada Al Aina Al Mardhiyah?” Lalu mereka berkata: “Wahai
waliyullah, kami sekedar pelayannya. Oleh karena itu berjalanlah terus
kedepan.” Akupun berjalan kedepan, lalu aku berjumpa dengan tenda dari
mutiara yang putih bersih, di depan pintunya ada gadis yang mengenakan
perhiasan dan pakaian yang sulit dilukiskan keindahannya. Ketika itu dia
melihat aku, lalu menyambutku dengan penuh kegembiaraan, lalu
memanggil: “Wahai Al Aina Al Mardhiyah, inlah suamimu telah datang.”
Pemuda
itu berkata: “Lantas aku masuk ke tenda, tahu-tahu dia lagi duduk di
atas ranjang dari emas, berhias dengan mutiara dan yaqut. Ketika aku
melihatnya, akupun tertarik. Dia berkata: “Selamat datang wahai wali
Allah, sungguh engkau akan datang kepada kami sebentar lagi. Lalu akupun
ingin merangkulnya, lantas dia menjawab: “Tenang saja, kamu masih belum
diperbolehkan merangkulku, sebab engkau masih hidup di dunia, kamu akan
berbuka pada kami malam ini.”
Pemuda
itu berkata: “Lalu aku bangun, wahai Abdul Wahid sungguh aku tidak
tahan lagi hidup di dunia, aku ingin berjumpa dengan Al Aina Al
Mardhiyah.”
Abdul
Wahid berkata: “Pemuda itu masih belum memutuskan pembicaraanya, lantas
ada pasukan musuh yang menyerang kami. Ternyata pemuda itu tak tahan
lagi untuk tinggal diam, lalu dia menyerang ke tengah musuh dan bisa
membunuh sembilan orang di antara mereka, dan dia sendiri termasuk
korban yang kesepuluh.”
Aku
(Abdul Wahid) berjalan-jalan bertemu dengan tubuh pemuda itu yang lagi
berlumuran darah segar, dia malah tetawa atas penderitaannya, lalu
meninggalah. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kami atas kisah
pemuda itu.
Hikayat 2 tentang pahala Birrul Walidain:
Al
Yafi’I pernah bercerita, sesungguhnya Allah yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi memberikan wahyu kepada Nabi Sulaiman Bin Dawud AS agar keluar ke tepi laut , di sana engkau akan melihat sesutau yang mengagumkan.
Lantas
Nabi Sulaiman AS bersama jin dan manusia keluar, ketika sampai di tepi
laut, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, ternyata tidak melihat sesuatu
yang menarik perhatiannya, lantas Nabi Sulaiman berkata kepada Ifrit:
“Hendaklah kamu menyelam ke dasar lauit ini, dan nanti kembalilah dengan
membawa sesuatu yang kamu jumpai di dalamnya.” Si Ifrit pun menyelam
dan kembali sececah kemudian. Lalu Ifrit berkata: “Wahai Nabi Sulaiman,
sesungguhnya aku telah menyelam ke dalam dengan perjalanan yang amat
jauh sekitar sekian……… Sungguhpun demikian aku masih belum sampai ke
dasarnya dan aku juga tidak melihat sesuatu yang menarik.”
Nabi
Sulaiman memerintah kepada Ifrit yang lain: “Berangkatlah kamu untuk
meyelami laut ini dan nanti bawalah sesuatu yang kamu jumpai, meskipun
sekedar pengalaman yang telah kamu lihat.” Sececah kemudian, Ifritpun
kembali dan berkata sebagaimana apa yang dikatakan oleh Ifrit yang
pertama tadi, hanya saja Ifrit yang terakhir ini telah menyelam dua
kali.
Lantas
Nabi Sulaiman berkata kepada Ashif bin Burkhiya, yaitu menteri Nabi
Sulaiman yang telah disebut di dalam Al Qur’an sebagai orang yang
mengerti ilmu kitab. Akhirnya Nabi Sulaiman dibawakan sebuah Kubbah dari
kapur putih yang mempunyai empat pintu. Sebuah pintu terbuat dari
intan, sebuah pintu yang terbuat dari yaqut, sebuah pintu yang terbuat
dari mutiara, dan sebuah pintu yang terbuat dari Zabarzad yang hijau.
Seluruh
pintu itu terbuka, namun setetes airpun tidak ada yang masuk ke
dalamnya, padahal kubbah itu berada di laut yang paling dalam, sekitar
perjalan Ifrit yang pertama tiga kali. Lantas kubah itu diletakkan di
depan Nabi Sulaiman, tahu-tahu di dalamnya ada seorang pemuda yang
berpakaian baik, bersih sedang menjalankan shalat. Nabi Sulaman masuk ke
dalamnya dan mengucapkan salam kepadanya, lalu berkata
kepada pemuda itu: “Apakah yang mebuatmu bisa bertempat tinggal di dasar
laut ini?” Pemuda itu menjawab: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya ayahku
itu seorang yang lumpuh, sedangkan ibuku tuna netra, aku berusaha untuk
melayaninya selama tujuh puluh tahun.”
Ketika
ibuku akan meninggal dunia, dia berdo’a: “Ya Allah berilah anakku usia
yang panjang untuk datang kepadaMu.” Begitu juga ketika ayahku akan
meninggal dunia, dia berdo’a: “Ya Allah berilah anakku kesempatan untuk
beribadah kepadaMu di suatu tempat yang sekiranya tidak bisa dilalui
oleh setan.”
Lantas
aku keluar ke tepi laut ini setelah aku mengebumikan mayat ayah dan
ibuku, lantas aku melihat kubbah ini di depanku. Aku masuk ke dalamnya
untuk melihat keindahan di dalamnya. Akhirnya ada malaikat yang datang
padaku dan membawanya bersamaku ke dalam laut ini. Lantas Nabi Sulaiman
bertanya: “ Kira-kira kapan kamu sampai ke tepi pantai ini?” Pemuda itu
menjawab: “Kira-kira pada jaman Nabi Ibrahim Al Kholil.”
Nabi
Sulaiman mengingat tentang sejarah Nabi Ibrahim yang bisa diperkirakan
dua ribu empat ratus tahun yang silam. Sungguhpun demikian, pemuda itu
masih tetap muda tidak ada satupun uban di rambut kepalanya.
Nabi
Sulaiman bertanya: “Bagaimanakah makanan dan minumanmu?” Pemuda itu
menjawab: “Pada tiap hari ada seekor burung hijau yang membawa sesuatu
yang kuning di patuknya seperti kepala manusia, lalu aku memakannya. Aku
bisa merasakan segala kenikmatan di dnia. Dengan memakannya aku tidak
terasa laar dan haus, panas dingin dan tidurpun aku tidak ada kedinginan
lagi, aku tidak terasa susah, tidak jemu.”
Lantas
Nabi Sulaiman berkata: “Apakah kamu senang bersama kami?” Pemuda itu
menjawab: “Kembalikan aku ke tempatku wahai Nabi Allah.” Nabi Sulaiman
berkata kepada Ashif: “Wahai Ashif kembalikan ke tempatnya.” Nabi
Sulaiman menoleh dan berkata: “Lihatlah, bagaimana Allah
mengabulkan do’a kedua orang tua lelaki ini. Oleh sebab itu, aku
peringatkan kepadamu jangan sampai durhaka kepada kedua orang tua.”
Warna kurang mendukung hanjet ta baca tungku ,,
BalasHapus